Bonus Demografi dalam Pesta Demokrasi

 

(sumber gambar: google)


Pesta demokrasi sudah di depan mata. Memasuki masa tenang, namun tak cukup tenang bagi mereka yang terlibat langsung dalam perhelatan akbar ini. Bagi para capres dan cawapresnya, maupun calon anggota legislatif dan partainya, terlebih lagi bagi para relawan demokrasi tersebar hingga seluruh pelosok negeri. Sungguh detik-detik jelang pemilu bukanlah masa tenang buat mereka.

Bagaimana jika dilihat dari sisi kesiapan para pemilihnya? Edukasi tentang pemilihan umum (pemilu) serentak tentu sudah banyak kali dilakukan. Seyogyanya, edukasi ini sudah menyentuh seluruh lapisan masyarakat terutama yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa pemilih milenial pada pemilu 2019 ini mencapai 35-40 persen. Tampaknya metode sosialisasi pemilu kali inipun begitu menyesuaikan dengan karakteristik pemilihnya, yaitu para milenial. Sebagaimana yang terselenggara di berbagai wilayah di Indonesia, ‘Pemilu Run’ pada H-10 perhelatan demokrasi juga terselenggara di kabupaten/kota di Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra).

Bonus Demografi

Tidak dipungkiri lagi bahwa fenomena Demographic Devident atau yang lebih dikenal dengan istilah ‘Bonus Demografi’ sangat terasa pengaruhnya dalam masyarakat. Adanya transisi demografi yang ditandai dengan kenaikan signifikan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun), penundaan pertumbuhan penduduk usia muda (dibawah 15 tahun), dan semakin sedikit jumlah penduduk usia tua (diatas 64 tahun) terlihat dalam beberapa tahun terakhir.

Artinya, pada saat fenomena Demographic Devident ini terjadi, komposisi jumlah penduduk dengan usia produktif (15-64 tahun) mencapai titik maksimal dibandingkan dengan usia non produktif (0-14 tahun dan 65 tahun ke atas).

Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa, tahun 2017 hingga 2019 merupakan puncak bonus demografi gelombang pertama dan masih berlanjut gelombang bonus demografi kedua pada tahun 2020 hingga 2030 mendatang.

Dibandingkan dengan 2015 silam, penduduk usia produktif di Sultra sebanyak 65,21 persen dan dalam 3 tahun berikutnya meningkat hingga mencapai 65,94 persen dari total penduduk di Sulawesi Tenggara. Secara jumlah? Penambahan sebanyak 98 ribu jiwa dalam selang 3 tahun tidak bisa dibilang sebagai angka yang sedikit (Proyeksi Penduduk berdasarkan SUPAS 2015).

Fenomena ini memberi dampak tak hanya pada komposisi penduduk saja. Namun, lebih jauh dari itu sisi ketenagakerjaan juga menerima injeksi jumlah angkatan kerja yang signifikan peningkatannya. Dari 1,14 juta pada tahun 2015 menjadi 1,25 juta orang pada tahun 2018.

Sebagai dampak dari signifikansi penambahan jumlah angkatan kerja, rasio ketergantungan penduduk (antara usia tidak/belum produktif terhadap penduduk usia produktif) idealnya juga akan menurun. Dengan catatan, penduduk usia produktif tersebut benar-benar memaksimalkan produktifitasnya. Dengan kata lain aktif melakukan/membantu melakukan kegiatan ekonomi (tidak menganggur)

Aktif Berdemokrasi

Kembali ke event perhelatan akbar di tahun ini, sudah seharusnya kaum muda memberikan dampak yang positif terhadap iklim demokrasi di Indonesia. Meningkatnya jumlah kaum terpelajar yang ditandai dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang terus meningkat, kesadaran masyarakat terhadap gulir kepemimpinan di negeri ini selayaknya juga menunjukkan peningkatan.

Namun sayangnya, dalam Publikasi Statistik Politik Indonesia yang dirilis BPS pada tahun 2018 lalu ditunjukan bahwa Indeks Demokrasi Provinsi (IDP) Sulawesi Tenggara justru mengalami penurunan dari 71,13 pada tahun 2016 menjadi 68,51 pada 2017, atau turun sebesar 2,62 poin. Dalam hal ini Sultra tergabung dalam 16 dari 34 provinsi dengan IDP yang menurun. Akankah 2019 ini kembali menunjukkan penurunan?

Kepedulian dan antusiame masyarakat dalam mengawal kegiatan demokrasi sejatinya sudah begitu terlihat. Terlepas dari siapa capres, cawapres, caleg, dan partai yang diusungnya, partisipasi masyarakat dalam menyuarakan aspirasinya begitu nampak, apakah itu sewujud dukungan ataupun kritikan.

Setidaknya meskipun itu sebuah kritikan, suara yang terdengar dari para citizen dan netizen ini adalah pertanda bahwa mereka peduli, tidak hanya diam menutup mata dan telinga seolah tak ingin terlibat sama sekali. Namun demikian, tetap saja, partisipasi nyata baru akan tergambar jelas pada 17 April mendatang di TPS-TPS yang tersebar di seluruh Indonesia.

Antusiasme tersebut tak hanya terlihat di dalam negeri, bahkan menjalar hingga ke luar negeri. Bagaimana berbagai media memberitakan mengenai proses pemilu yang sudah berlangsung di berbagai negara seperti Malaysia, Hongkong, Singapura, Australia, Amerika Serikat, Arab Saudi, dan di negara-negara lainnya. Sebuah bentuk kecintaan anak negeri yang patut diapresiasi.

Millenial Peduli Demokrasi

Millenial cenderung lekat dengan ciri khasnya yang melek teknologi dan juga informasi. Sudah bukan saatnya lagi untuk apatis dan menarik diri dari kontribusi. Perhelatan akbar 17 April 2019 ini adalah dari, oleh, dan untuk kita semua, rakyat Indonesia.

Sosialisasi yang masif dan ekstensif sudah dilakukan. Tentunya dengan harapan, pemimpin negeri untuk 5 tahun mendatang yang lahir dari pesta demokrasi ini merupakan hasil suara yang jujur dan adil dari seluruh masyarakat.

Pun bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang dengan terpaksa karena berbagai kondisi tidak bisa memperoleh/menggunakan hak suaranya, sesungguhnya masih bisa menaruh peran dalam mendukung proses demokrasi negeri ini. Bukankah munajat pada penguasa langit dan bumi memberikan kekuatan terbaik dalam setiap usaha yang sudah kita maksimalkan? Peran serta setiap kita akan menjadi penentu gerak dan arah kebijakan Indonesia setidaknya untuk 5 tahun kedepan. Selamat berkontribusi dalam pesta demokrasi!

 

Komentar