![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhmrO8RRUIu4UiKMET7uFEMoPGeytfP6rVSRXfdZloehTmX2BG5AyqY8g84c8Qp_nlA6ofnKqoBD6tkNzgZ5lHMrsPhrYAQ6zLQpEPYg9ipxEloFlDXoYxPEvZxjhP7uIrz-pf227iviCyo/s640/WhatsApp+Image+2020-08-21+at+17.56.31.jpeg)
Mengingatkan kembali tentang Dalamnya rasa cinta yang kita miliki. Namun tak sedalam Cinta yang menjadikan mereka lupa dengan bahagianya, tapi selalu ingat tentang bahagia kita.
Menjadi seorang anak merupakan profesi yang sudah bertahun-tahun ku geluti. Namun, setiap episodenya masih saja sering terasa kaku. Saat semuanya dalam situasi nyaman, aku yang terlena. Saat semuanya berubah tak lagi semudah seperti masa-masa awalku bersamamu, barulah aku mulai merasa. Ah, sungguh diri ini sangat tidak peka! Namun, kini ku bertekad akan belajar lebih giat lagi, bagaimana jenjang karir itu bisa ku lewati, tahapan demi tahapannya. Hingga sampai pada akhirnya nanti, kita akan bersama-sama menikmati puncak kebahagiaan itu. Menjadi investasi terbaikmu –Ibu dan Ayah- itulah cita tertinggi pada profesi abadi ku ini.
Jarak yang semakin menjauh, meminta jiwa kian terpaut semakin mendekat. Mungkin inilah batin antara orang tua dan anaknya, setidaknya itu yang kurasa. 3.991km (versi google) adalah jarak yang cukup jauh bagiku untuk bisa berbalas senyum pada mereka sesering yang ku ingin. Gawai memang banyak membantuku untuk mengintip sedikit ke luar dari ruang rinduku, tapi tak mampu menggantikan seutuhnya. Terhitung sudah 22 purnama kujalani disini, tak banyak yang bisa kuperjuangkan untuk mereka. Menyimpul senyum setiap pagi, menemani hari-hari mereka yang sepertinya semakin lama semakin sepi, seringkali hanya menghiasi tidurku saja. Ingin kugenapkan bilanganku mengunjungi mereka sebelum tahun ini berakhir, semoga kesempatan itu masih berpihak padaku Yaa Rabb. Seraya ku taruh harap dalam bisikan doaku, bahwa jarak yang kini memisahkan kami tak lama lagi akan mendekat insyaAllaah. Kumohon kepada hati, agar bertahanlah sedikit lagi untuk waktu yang tersisa ini.
Untuk perjalanan yang menempuh ribuan kilometer itu, selalu saja mereka seolah menemani setiap detikku. Dari langkahku beranjak menutup pintu tempat tinggal sementaraku, hingga tanganku mengetuk pintu yang selalu kurindu itu, harap temu dari mereka sudah terdengar. Bukan hanya tempat sederhananya yang kurindukan, tapi mereka yang tinggal di dalamnya yang lebih kunantikan sebagai penghibur rinduku. Meskipun dalam usia yang bukan kanak-kanak lagi, mereka selalu berusaha untuk menyambutku sampai ke jarak terjauh yang bisa mereka tempuh. Seolah apa yang mereka rasakan terukir dengan sangat jelas. Pilihan berat bagi mereka untuk melepasku pergi tanpa satupun kerabat yang dapat menemani.
Hingga saat ini masih saja cara sederhana yang mampu kulakukan. Tak jauh dari mendengarkan cerita hari-hari mereka dari gawai di genggaman. Sesekali kuhibur dengan cerita ceria ku di sini. Tentu hanya bagian girangnya yang bisa kubanggakan pada mereka. Buat kalian yang pernah menikmati tanah asing tiada kerabat dan keluarga, mungkin sedikit banyak akan mengerti tentang bagaimana rasanya. Apakah itu dalam rangka menunaikan amanahmu pada negeri, ataupun amanah yang engkau tanam di dalam diri sendiri untuk memperjuangkan berbagai cita dan mimpi. Apapun itu, bertemu mereka sesering yang kita bisa, adalah rindu yang sesegera mungkin ingin dilampiaskan bukan? Inilah bagian dari perjalananku.
Di rumah tempat aku bertumbuh itu, hari-hari ku berlalu terasa begitu cepat. Waktuku yang singkat menjadi semakin singkat saat mengingat alarm di kalender pribadiku. Seolah hidupku hanya seputar menghitung mundur waktu kembaliku. Tak banyak yang bisa kulakukan disana. Sesekali menemani ibuku ke pasar, mengamatinya membeli bekal, buah, dan sayuran. Mengiringi langkah kakinya, membawakan belanjaannya, menemani sepanjang perjalanannya. Sesekali saat amanah yang dijalani ayahku di luar rumah sedikit longgar, senda gurau sembari menanti kumandang azan maghrib tiba terasa begitu istimewa. Dulu, aktivitas ini hanya rutinitas biasa bagiku. Namun, sekarang menjadi momen yang paling berharga, tak ingin terlupa.
Cerita yang sering kudengar darinya melalui gawai, ternyata hanya sepojok kecilnya saja kawan. Pernah ia bilang sesekali kakinya sakit saat harus jauh berjalan. Dan saat aku menyaksikannya, kurasa itu bukanlah jarak yang cukup jauh buatku. Semakin lama ku mengamati, semakin ingin ku mendekati. Apa yang bisa kulakukan, apa yang ia butuhkan, apapun aku ingin memberikannya. Tetapi jawabannya selalu sama, dengan senyumnya yang jelas sekali dipaksakan untuk menguatkan dirinya dan mungkin juga untuk menguatkanku yang tak lama lagi akan beranjak membentuk jarak panjang lagi dengannya.
Bertemu mereka semakin ku disadarkan. Rambut mereka semakin banyak yang memutih, mata mereka seringkali terlihat sayu. Ada kesedihan yang terasa begitu menyesak. Di saat-saat seperti ini, kenapa aku justru ‘pergi’ menjauh dari mereka? Yaa Rabb, semoga tak Engkau biarkan amanah yang kujalani saat ini sebagai alasan bagiku untuk lalai menunaikan bakti pada mereka. Ku percaya, mustahil Engkau berikan amanah yang justru membuatku terhalang dari kewajiban utamaku dari profesi abadiku, sebagai anak yang hidup penuh bakti kepada dua orang pejuang terbaik di hidupnya.
Dalam senyapku seringkali terlintas di pikiranku, memangnya selain ridha Allah yang bisa kudapat lewat mereka, ada lagi cita tertinggiku di dunia ini? Semakin ku renungkan, semakin nyata garisannya. Dunia ini, semakin ku kejar semakin ia menuntutku untuk terus berlari, lagi dan lagi, seolah tak mengizinkanku untuk berhenti. Hingga pada akhirnya lelah yang mengajarkanku kesia-siaan semua itu. Namun, ada rasa yang berbeda ketika Dia dan mereka hadir di dalam hatiku, yang menuntun langkahku saat berjalan di ‘dunia’, memberikan rambu-rambu, hingga terbimbing langkah itu dengan lillaah. Dan lelah yang kurasa kadang sekaligus menjadi penghibur rasa bagi jiwa. Lelah mengingatkanku untuk sejenak mengambil jeda mengisi sisi lain dalam ruang jiwa yang merindukan kesejuknya.
Ibu dan Ayah, saat kita mencoba mengerti mereka atau bahkan berlagak paham arti peluh dan air mata mereka, sesungguhnya kita takkan pernah benar-benar mengerti lelah perjuangan itu, sampai tapak kaki ini menjelajah persis di atas bekas jejak yang mereka tinggalkan. Melalui goresan tinta ini ku ingin berbagi, cintailah mereka dengan caramu hingga batas kemampuan yang kau miliki, cintai mereka melalui doa-doamu. Selagi sempat, berbuatlah. Saat Ia berkehendak untuk memisahkan alammu dan mereka, bermunajatlah. Ada ataupun tiada mereka saat ini, sadarilah dengan sepenuh jiwa bahwa hadirmu ke dunia hingga mencapai tempat yang kini kau pijaki adalah buah dari cara mereka mencintaimu, lewat kasih sayang dan doa-doa mereka. Karenanya, tunjukkanlah bakti terbaikmu, hingga kebahagiaan nan abadi menjadi puncak karir tertinggimu bersama mereka. Aamiin Yaa Mujiib Yaa Rabbal ‘Aalamiin.
Komentar
Posting Komentar