WHO: ‘Covid-19 mungkin tidak akan pernah hilang seperti halnya
penyakit lain seperti campak’ (Republika 15/05).
Peringatan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentu tak layak
diabaikan. Sejak kasus pertama di wuhan cina akhir tahun 2019 lalu, covid-19
sudah menjangkit di 216 negara dengan lebih dari 4,4 juta kasus terkonfirmasi
di seluruh dunia, dan sedikitnya 305 ribu orang meninggal dunia. Di Indonesia,
angka kasus terkonfirmasi belum juga kian melandai (covid 19.go.id 18/05).
Hingga saat ini, belum ada vaksin yang teruji dapat menanggulangi infeksi
ini. Meskipun sudah ada negara seperti Perancis yang mengumumkan vaksinnya akan
dapat di akses semua negara. Namun tetap saja, vaksin nya belum ada. Dan
kendatipun nanti ada pasti akan membutuhkan waktu yang sangat panjang untuk
dapat menjangkau ke seluruh warga dunia.
Terlepas dari apakah ini konspirasi atau tidak, fakta pandemi ini jelas
terpampang di depan mata. Mau tidak mau, siap tidak siap, seluruh kita ‘terpaksa’
harus menghadapi peringatan WHO tersebut, bahwa covid-19 mungkin saja tidak
akan pernah hilang.
Normal baru adalah realitas di depan mata yang tak terelakkan. Kemampuan
beradaptasi dengan cepat adalah kekuatan utama untuk mampu bertahan di tengah
kegamangan sosial ekonomi saat ini.
Sosial masyarakat berubah.
Interaksi sosial dibatasi, mobilitas penduduk dikurangi. Pola komunikasi sosial
beralih dari tatap muka menjadi ‘tatap layar’ atau via suara saja. Pola pembelajaran
juga berpindah, dari ruang kelas bergeser ke platform online atau
daring (dalam jaringan).
Banyak hal yang sudah ‘dipaksa’ berubah. Namun, belum semua kita ‘menikmati’
perubahan itu. Beradaptasi adalah kuncinya. Karena tiada satupun yang dapat
memastikan sampai kapan kondisi ini akan mereda.
Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang kita ‘baru belajar’ belakangan
ini, tentunya akan menjadi kebiasaan di tengah masyarakat. Senantiasa menjaga
kebersihan diri dan lingkungan baik itu di rumah, di sekolah, di tempat kerja,
di sarana kesehatan, dan tempat umum lainnya.
Aktivitas ekonomi masyarakat berubah. Budaya kerja signifikan
berubah. Banyak yang menerapkan sistem Work From Home (WFH), baik itu
Institusi pemerintah maupun swasta melakukan aktifitas kerja dari rumah. Kementrian
keuangan misalnya, mewacanakan sebuah terobosan normal baru pasca pandemi
dengan Flexible Working Space (FWS) yaitu fleksibilitas lokasi bekerja
selama periode tertentu. Perusahaan twitter bahkan menfasilitasi pegawainya untuk
menerapkan wfh selamanya jika diperlukan.
Penyediaan data sebagai kompas pembangunan tentu tak boleh terhenti. Pelaksanaan
kegiatan Sensus dan survey oleh Badan Pusat Statistik (BPS) juga melakukan
optimalisasi media online. Sensus Penduduk online yang awalnya hanya dijadwalka
hingga 31 maret 2020, diperpanjang sampai dengan 29 Mei 2020. Beberapa survey
juga menerapkan survey via telepon dan media daring seperti whatsApp dan
email.
Dunia pendidikan terlebih lagi, Demi
menjamin aktivitas belajar siswa dan mahasiswa terus berlanjut di tengah
pandemi ini, sesi belajar-mengajar pun beralih dari ruangan kelas ke berbagai platform
belajar daring seperti WhatsApp group, google class room, edmodo, quizzi, zoom
cloud, dan sejenisnya.
Aktivitas perdagangan mau tak mau juga memperluas jalur promosinya untuk
bisa ‘bertahan hidup’. Berbagai media daring dimanfaatkan. Dengannya, tren
belanja masyarakat turut berubah.
Perusahaan kosmetik di china misalnya, mereka memutuskan untuk melatih
ratusan tenaga penjualnya untuk mulai membuat acara melalui video langsung. Tak
disangka outcome nya sungguh menakjubkan. Angka penjualan di februari mampu
naik 20 persen dibandingkan tahun sebelumnya saat kondisi normal tanpa pandemi.
Hal serupa juga dialami oleh pengusaha rumahan yang pastinya juga terdampak
secara ekonomi.
Kita? Bukannya tidak bisa, hanya sebagian kita belum bersiap
menghadapinya. Mulai beradaptasi tiada salahnya bukan?
Berdamai dengan pandemi bukan berarti mulai pasrah tak peduli.
Tapi kembali melejitkan potensi melalui berbagai inovasi. Salah satunya dengan
beragam aktivitas berbasiskan teknologi seperti smartphone.
Pedagang mulai beralih
‘pasar’, memperluas jangkauannya melalui transaksi daring (online).
Menawarkan barang dagangannya lewat berbagai media sosial, whatsApp, facebook,
instagram, dan sejenisnya. Otomatis pembelipun akan mengikuti peralihannya.
Perkantoran mulai
me-normal-kan aktivitasnya, dengan memaksimalkan pemanfaatan teknologi.
Koordinasi jarak jauh, sebisa mungkin tidak mengurangi outcome yang dihasilkan.
Tak terkecuali sektor
produksi seperti pertanian, kehutanan, perikanan; pertambangan dan penggalian;
serta industry yang membutuhkan aktivitas langsung di lokasi. Akan tercipta
normal baru yang lebih memperhatikan kesehatan dan keselamatan kerja. Mulai
dari kebersihan individu hingga tercipta lingkungan kerja yang juga lebih
bersih dan tertata.
Semakin cepat kita
‘berdamai’ dengan kondisi ini, maka semakin cepat pula sosial ekonomi
masyarakat akan pulih, insyaAllah.
Saat ini, gairah
ekonomi masyarakat mulai terlihat lesu. Bahkan di Kota Kendari tercermin dari angka
inflasi yang menjadi negative pada April lalu. Tercatat terjadi deflasi 0,05
persen. Akan stabil kembali saat normal baru tercipta, saat kita semua mampu
‘berdamai’ dengan kondisi ini. Menemukan komplemen maupun substitusi dari
kegiatan normal lama menjadi normal baru.
Indikator Pertumbuhan
ekonomi hampir merata terjadi perlambatan di seluruh wilayah Indonesia.
Sulawesi Tenggara misalnya, pertumbuhan ekonomi (yoy) pada triwulan 1 tahun
2020 adalah 4,37 persen, melambat dari triwulan 4 tahun 2019 yang pada saat itu
mencapai angka 6,87 persen.
Saat normal baru sudah
tercipta, tentu sesuai harapan kita semua, angka ini akan kembali mempercepat
lajunya. Semoga tak perlu berlama-lama. Tertib dengan protokol kesehatan,
menerapkan PHBS, dan cepat beradaptasi dengan ‘lingkungan yang baru’ adalah
kuncinya.
Komentar
Posting Komentar