Posisi Strategis Data Kependudukan

 "Kendari Pos, 4 Februari 2020 (diterbitkan)

Data adalah jenis kekayaan baru bangsa kita, bahkan ia lebih berharga dari minyak. Data yang valid adalah kunci utama kesuksesan pembangunan sebuah Negara. Data yang akurat sangat penting untuk membuat keputusan yang tepat, mengeksekusi program yang tepat sasaran.  Demikian kutipan pidato Presiden Joko Widodo, saat pencanangan Pelaksanaan Sensus Penduduk 2020 di Istana Negara, Jakarta (24/01).

Sinergisitas semua pihak menuju satu data kependudukan Indonesia mutlak diperlukan. Apalagi saat kita bercita-cita menjadi Indonesia Maju. Mengingat data kependudukan merupakan data dasar untuk membuat perencanaan di berbagai bidang. Mulai dari perencanaan kebutuhaan pangan, kebutuhan fasilitas pendidikan, kesehatan, hingga perencanaan pembangunan  berbagai infrastruktur di setiap wilayah.

Sensus Penduduk sudah di depan mata

Mari menelisik lebih jauh tentang arti penting data orang per orang, keluarga per keluarga, wilayah per wilayah, hingga bersinergi menjadi data pembangun Indonesia. Seandainya jika kita diminta untuk menilai diri sendiri pada skala 1-10, sampai angka berapa kita mampu membenarkan soal kepedulian kita dengan data yang ada?

Tak usah terlalu jauh berbicara soal data pertumbuhan ekonomi, atau angka kemiskinan, atau angka pengangguran, atau data hasil sektor unggulan kita seperti pertanian  misalnya, atau data hasil tambang Sulawesi Tenggara yang tak semua wilayah memiliki kekayaan semacam ini. Tak perlu berbicara terlalu jauh, dengan data diri dan data keluarga sendiri, seberapa besar nilai yang mampu kita berikan atas kepedulian kita?

Saat ada kelahiran anggota keluarga baru, seberapa cepat kita melaporkannya ke bagian pencatatan sipil, misalnya? Saat ada kematian salah satu anggota keluarga, sesegera apa kita melaporkannya? Saat pindah tempat tinggal atau saat pendidikan kita semakin meningkat, seberapa cepat respon kita terhadap data yang tertera di kartu keluarga/KTP kita? Atau saat ada anggota keluarga yang alih profesi dari pelajar menjadi wiraswata misalnya, apakah sesegera mungkin kita melakukan pemutakhiran data ke pihak yang berwenang memberikan legalitas perubahan itu?

Sanggupkah kita memberi nilai 8 dari skala 10? Jika belum, inilah saatnya bagi kita untuk menemukan arti penting dari ‘data yang mutakhir dan akurat’ untuk kebermanfaatan yang optimal bagi kita semua.

Berbicara tentang ekonomi masyarakat misalnya, atau lebih dikenal dengan istilah pertumbuhan ekonomi. Bukankah kita mengira bahwa angka pertumbuhan ekonomi yang 6,18 persen (yoy) untuk Sulawesi Tenggara pada triwulan III 2019 lalu itu digunakan bagi pemerintah daerah untuk merencanakan pembangunan wilayahnya? Sinergisitas antara kuantitas Sumber Daya Alam (SDA) dengan kuantitas serta kualitas dari Sumber Daya Manusia (SDM) menjadi target pembangunannya.

Seberapa besar produktivitas SDA yang mampu dioptimalisasi oleh SDM kita? Berapa jumlah SDM kita yang diharapkan menjadi tulang punggung perekonomian? Bukankah kebutuhan akan data karakteristik demografi masyarakat terdeteksi disini? Bukankah kita memerlukan data jumlah penduduk usia produktif?

Atau topik pembicaraan yang seringkali mengundang gaduh seperti Kemiskinan. Bukankah ujung-ujungnya pertanyaan terbesar yang muncul ialah berapa banyak orang miskin? Kembali kita membutuhkan data kependudukan dengan karakteristik tertentu, yaitu jumlah penduduk yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar hidupnya.

Kita masih sependapat bahwa, untuk penyaluran bantuan, masih bertumpu pada data demografi masyarakat dengan karakteristik tertentu. Bukankah pemerintah membutuhkan data seberapa jumlah jiwa yang membutuhkan penyaluran bantuan? Dalam bentuk pangan seperti raskin, atau dalam bentuk keringanan biaya sekolah yakni pengucuran dana BOS dan siswa penerima Program Indonesia Pintar (PIP).

Saat kita menanggapi data usia harapan hidup (UHH) Sulawesi Tenggara saat ini, bukankah kita masih membutuhkan data kependudukan? Seperti, sasaran penerima manfaat dari program kesehatan yang dicanangkan oleh pemerintah untuk meningkatkan UHH masyarakat di wilayahnya.

                Berbicara soal struktur demografi, semakin erat korelasinya ketika membahas isu ketenagakerjaan. Seberapa besar pengangguran di suatu wilayah? Berapa banyak tenaga kerja potensial yang belum teroptimalisasi? Bagaimana supply maupun kebutuhan tenaga kerja dari setiap lapangan kerja yang tersedia? Atau seberapa banyak lapangan kerja yang perlu disediakan untuk menampung seluruh tenaga kerja potensial hingga dapat terserap seluruhnya.

Tak terkecuali untuk kebutuhan politik, seperti jumlah kursi legislatif, penyaluran Dana Aloksi Umum (DAU), pemekaran wilayah, dan sebagainya. Balik lagi yang menjadi dasar pengambilan kebijakannya adalah demografi penduduk yaitu distribusi jumlah penduduk dan bagaimana ia berubah setiap waktu akibat kelahiran, kematian, dan migrasi.

Generasi Digital, yang sangat dekat dengan perkembangan teknologi dan informasi, kini menjadi garda terdepan dalam aktualisasi dan internalisasi budaya melek data ini.  Dengan demikian, ikut turut aktif dalam membangun akurasi data pribadi yang dapat dipertanggungjawabkan adalah langkah konkritnya.

Sensus Penduduk 2020 kali ini diawali dengan pemutakhiran (update) data pribadi dan keluarga melalui website https://sensus.bps.go.id pada tanggal 15 Februari hingga 31 Maret 2020. Untuk pengisian data pribadi tersebut, cukup persiapkan nomor Kartu Keluarga (KK), Nomor Identitas Kependudukan (NIK) serta dokumen surat nikah (bila sudah menikah), surat cerai (bagi yang pernah bercerai), dan akta kelahiran.

Sensus Penduduk 2020 menjadi hajatan kita bersama. Sudah saatnya kita peduli dengan data, apalagi menyangkut data pribadi dan keluarga sendiri. Mari suksekan hajatan bersama kita kali ini untuk Sultra yang lebih baik dan untuk Indonesia Maju.

Komentar